Kabarberitaguru.blogspot.com – Didalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari
Abdullah bin Amr berkata,”Rasulullah saw telah melaknat orang yang memberi dan
menerima suap.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
Ibnul Arabi mengatakan bahwa suap adalah
setiap harta yang diberikan kepada seseorang yang memiliki kedudukan untuk
membantu atau meluluskan persoalan yang tidak halal. Al murtasyi sebutan untuk
orang yang menerima suap, ar rasyi sebutan untuk orang yang memberikan suap
sedangkan ar ra’isy adalah perantaranya. (Fathul Bari juz V hal 246)
Al Qori mengatakan ar rasyi dan al
murtasyi adalah orang yang memberi dan menerima suap, ia merupakan sarana untuk
mencapai tujuan dengan bujukan (rayuan). Ada yang mengatakan bahwa suap adalah
segala pemberian untuk membatalkan hak seseorang atau memberikan hak kepada
orang yang salah. (Aunul Ma’bud juz IX hal 357)
Suap adalah pemberian seseorang yang
tidak memiliki hak kepada seseorang yang memiliki kewenangan (jabatan), baik
berupa uang, barang atau lainnya untuk membantu si pemberi mendapatkan sesuatu
yang bukan haknya atau menzhalimi hak orang lainnya, seperti pemberian hadiah
yang dilakukan seseorang agar dirinya diterima sebagai pegawai di suatu
perusahaan / instansi, agar anaknya diterima di suatu sekolah favorit /
perguruan tinggi, pemberian kepada seorang guru agar anaknya naik kelas,
pemberian hadiah kepada seorang hakim agar dia terbebaskan dari hukuman dan
lainnya, walaupun fakta yang ada sebenarnya mereka semua tidak berhak atau
tidak memiliki persyaratan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan dari pemberiannya
tersebut.
Al Hafizh menyebutkan suatu riawayat dari
Farrat bin Muslim, dia berkata,”Suatu ketika Umar bin Abdul Aziz meninginginkan
buah apel dan ia tidak mandapati sesuatu pun dirumahnya yang bisa digunakan
untuk membelinya maka kami pun menungang kuda bersamanya. Kemudian dia disambut
oleh para biarawan dengan piring-piring yang berisi apel. Umar bin Abdul Aziz
mengambil salah satu apel dan menciumnya namun mengembalikannya ke piring
tersebut. Aku pun bertanya kepadanya tentang hal itu. Maka dia berkata,”Aku
tidak membutuhkannya.” Aku bertanya,”Bukankah Rasulullah saw, Abu Bakar dan
Umar menerima hadiah?” dia menjawab,”Sesungguhnya ia bagi mereka semua adalah
hadiah sedangkan bagi para pejabat setelah mereka adalah suap.” (Fathul Bari
juz V hal 245 – 246)
Suap merupakan dosa besar sehingga Allah
swt mengancam para pelakunya, baik yang memberikan maupun yang menerimanya
dengan laknat atau dijauhkan dari rahmat-Nya bahkan , sebagaimana diriwayatkan
oleh An Nasai dari Masruq berkata,”Apabila seorang hakim makan dari hadiah maka
sesungguhnya dia telah memakan uang sogokan. Apabila dia menerima suap maka ia
telah menghantarkannya kepada kekufuran.” Masruq mengatakan barangsiapa yang
meminum khamr maka sungguh ia telah kufur dan kekufurannya adalah tidak
diterima shalatnya selama 40 hari. Namun apabila pemberian hadiah terpaksa
dilakukan oleh seseorang kepada pejabat yang berwenang dalam permasalhannya
untuk mendapatkan haknya atau menghilangkan kezhaliman atas dirinya maka hal
ini dibolehkan bagi si pemberi dan diharamkan bagi si penerima.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan
bahwa para ulama telah mengatakan,”Sesungguhnya pemberian hadiah kepada wali
amri—orang yang diberikan tanggung jawab atas suatu urusan—untuk melakukan
sesuatu yang tidak diperbolehkan atasnya adalah haram, baik bagi yang
memberikan maupun menerima hadiah itu, dan ini adalah suap yang dilarang Nabi
saw.
Adapun apabila orang itu memberikan
hadiah kepadanya untuk menghentikan kezaliman terhadapnya atau untuk
mendapatkan haknya maka hadiah ini haram bagi si penerima dan boleh bagi si
pemberinya, sebagaimana sabda Nabi saw,”Sesungguhnya aku memberikan suatu
pemberian kepada salah seorang dari mereka maka dia akan keluar dengan mengepit
(diantara ketiaknya) api neraka. Beliau saw ditanya,”Wahai Rasulullah saw
mengapa engkau memberikan kepada mereka? Beliau saw menjawab,”Mereka enggan
kecuali dengan cara meminta kepadaku dan Allah tidak menginginkan kau berlaku
pelit.” (Majmu’ Fatawa juz XXXI hal 161)
Perlakuan Terhadap Penghasilan dari Suap
Dikarenakan suap menyuap (sogok) adalah
prilaku yang diharamkan maka penghasilan yang didapat pun bisa dikategorikan
sebagai penghasilan yang haram. Didalam suap ini selain melanggar rambu-rambu
Allah swt dalam mencari penghasilan, ia juga mengandung kezhaliman yang nyata
terhadap orang-orang yang memiliki hak.
وَلاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم
بِالْبَاطِلِ
Artinya ; “dan janganlah sebahagian kamu
memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil.”
(QS. Al Baqoroh : 188)
Imam al Qurthubi mengatakan,”Makna ayat
ini adalah janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lainnya dengan
cara yang tidak benar.” Dia menambahkan bahwa barangsiapa yang mengambil harta
orang lain bukan dengan cara yang dibenarkan syariat maka sesungguhnya ia telah
memakannya dengan cara yang batil. Diantara bentuk memakan dengan cara yang
batil adalah putusan seorang hakim yang memenangkan kamu sementara kamu tahu
bahwa kamu sebenarnya salah. Sesuatu yang haram tidaklah berubah menjadi halal
dengan putusan hakim.” (al Jami’ Li Ahkamil Qur’an juz II hal 711)
Untuk itu bagi seorang muslim hendaklah
mencari nafkah dengan cara-cara yang dibenarkan syariat sehingga setiap rupiah
yang didapatnya mendapatkan berkah dari Allah swt.
Keberkahan seseorang tidaklah ditentukan
dari banyak atau sedikitnya harta yang dimilikinya namun dari halal atau
tidaknya harta tersebut. Seberapa pun harta yang dimiliki seseorang ketika
memang itu semua didapat dengan cara-cara yang halal dan dibenarkan syariat
maka didalam harta itu terdapat keberkahan dari Allah swt.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar